Aku duduk berdua dengan kawanku itu di depan rumahnya. Hujun turun gerimis, mengembunkan bening kaca. Seperti biasa, matanya mulai menerawang jauh menembus kegelapan yang meraja. Sepertinya pelajaran hidup akan dimulai dengan segera. Dimulai dengan tawanya, dia bercerita.
Dengar, kini aku akan bercerita tentang kisah yang tak patut kau coba. Tapi, kalau kau ingin mencoba, terserah kamu saja. Cerita ini dimulai dua minggu setelah cerita kemarin kawan, setelah cerita tentang tiga celana. Dan cukup dua minggu, aku jalani hidup sebagai remaja haus pengalaman tanpa wanita.
Konon, di sebuah warung kami sedang duduk tenang, menunggu kedatangan mie ayam pesanan. Satu kawanku sedang bermesraan, terkekeh bangga pada kami karena punya kecengan. Kawanku yang lain, menertawaiku habis-habisan saat kami bercerita tentang aku yang jadi korban pemerasan. Tak ketinggalan temanku tadi yang sedang bermesraan, ikut-ikutan cengengesan. Aku hanya bisa tertunduk malu, hanya bisa melawan dengan kata, sialan kalian. Mie ayam pesanan datang dihadapan. Saatnya berhenti ejek-ejekan, kami mulai fokus memenuhi tuntutan cacing-cacing dalam perut yang kelaparan. Aku melirik pada kawanku yang tadi punya kecengan, mereka bermesraan sambil suap-suapan! Sial, aku jadi ingin merasakan. Rupanya, kawanku yang satu lagi memperhatikan. Lalu dia mulai bercerita tentang seorang teman, teman darinya, yang menurut dia adalah seorang gadis yang menawan. Siapa kawan? Kutanyakan padanya dengan wajah penasaran. Dia satu kelas denganku kawan, jawabnya diakhiri dengan senyuman. Kalau begitu pertemukanlah denganku yang kesepian ini, jawabku spontan. Dia memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki, wajahnya terlihat tidak yakin. Apa maksudmu memandangiku seperti itu? Tanyaku heran. Katanya tidak mungkin aku dan wanita itu jadian. Wah, rupanya dia sedang menyodorkan sebuah tantangan. Aku suka tantangan.
Kami berdua sepakat untuk bertaruh semangkuk mie ayam, dengan kawanku yang di warung tadi bermesraan sebagai saksi penentu. Isi taruhannya adalah, aku yang tampan ini harus bisa pacaran dengan wanita menawan tadi dalam waktu satu minggu, dimulai hari itu. Biasa aja mukamu? Seperti mau muntah begitu.
Aku terima tantangan kawanku, dengan syarat dia harus mengenalkan si wanita menawan itu padaku. Kawanku setuju. Saat selesai pelajaran olahraga, aku pergi ke kantin dan duduk di sebuah bangku. Aku duduk tepat menghadap ke arah jendela kelas kawanku. Jarak kantin dan jendela kelasnya mungkin tiga meter, kurang lebih begitu. Kulempari jendela itu dengan tisu, sampai akhirnya dia melihat padaku. Setelah memastikan guru tidak memperhatikan, kawanku itu mengangguk dan menunjukkan jarinya pada wanita yang duduk tepat di hadapannya padaku. Kulihat wanita yang katanya menawan itu. Lumayan, pikirku. Aku memanggil nama si wanita menawan, yang menoleh kaget mencari arah suaraku. Dan akhirnya pandangan kami berdua bertemu. Dia tersenyum padaku. Asik, pertanda baik bagiku. Biasanya bila wanita yang tidak kukenal kupanggil begitu, tak lama pasti di wajahku ada bekas tinju. Kupanggil kawanku, lalu kuteriakkan padanya agar menyampaikan salamku pada si wanita menawan, yang sedang menunduk malu. Sambil mencoleknya dengan sebuah pulpen, kawanku menyampaikan salamku. Aku melihat wanita itu tersenyum malu pada kawanku, lalu menoleh lagi padaku, kemudian tersenyum sambil tersipu malu. Asik, lagi-lagi pertanda baik bagiku. Dan segera aku pura-pura tak melihat kawanku, membalikkan badan dan pura-pura berbicara pada temanku yang sedang mendinginkan wajahnya dengan sebongkah es batu. Aku melirik pada kawanku, yang kini sedang kesakitan karena dijewer pak guru. Aku tertawa, kuangkat jempolku padanya yang masih meringis itu. Rupanya pak guru memperhatikanku, lalu menatap tajam padaku. Kutelan ludahku. Sedikit demi sedikit aku bergeser dari bangku, dan sekejap saja pak guru melepaskan pandangannya, aku ambil langkah seribu. Aku tak mau nanti orangtuaku ada di rumah sakit, terduduk pilu di ruang tunggu. Kau tau kan Guru Geografi itu? Nah itu, yang terkenal dengan jurus Kapur Tulis Pemecah Batu.
Aku resmi berkenalan dengan si wanita menawan. Biasa, awal perkenalan kami berdua tentang garis besar riwayat hidup dari lahir hingga jadi remaja ingusan. Temanku setia memperhatikan perkembangan, sambil menyedekapkan tangan. Temanku yang satu lagi, yang tadi kubilang diwarung sedang bermesraan, sedang bermesraan. Dimana-mana bermesraan. Di depan kelas, bermesraan. Di kantin, bermesraan sambil makan tak peduli walau sering kesedakan. Bahkan, di depan WC bermesraan, sambil menunggu antrian. Wajar kawan, wajar, di sekolah kita saja jutaan setan berkeliaran. Aku sudah tak tahan berada di dekat mereka berdua kawan. Cerita ini akan penuh dengan kata “bermesraan”. Barusan kuulang lagi kata itu kawan. Akhirnya kuputuskan untuk mengajak si wanita menawan untuk makan. Dia mengangguk pelan. Kami berjalan beriringan, dia di belakang aku di depan. Dia pasti memperhatikanku dari belakang, apakah jalanku keren atau tidak kawan. Ya sudah, aku mulai beraksi menunjukkan betapa gagahnya aku berjalan. Benar saja, tak hanya si wanita menawan mungkin yang terpesona padaku, mereka yang sedang duduk-duduk di depan kursi menjerit histeris melihat aku yang tampan. Dan ternyata aku terlalu berlebihan, maksud mereka memperingatkan kalau jalanku melenceng ke selokan. Aku kaget bukan kepalang, tapi akal masih punya jalan. Aku meraih tangan si wanita menawan, yang menahanku agar tidak jatuh sempoyongan ke dalam selokan. Dia tersenyum dan berkata, perhatikan jalannya tampan. Asik, kini peluang jadian terbentang dihadapan. Kenapa kawan? Itu ember ada di sebelah kanan.
Keesokan harinya, tak lengkap rasanya hari ini jika tak pergi ke kantin yang berada disamping kelas si wanita menawan berada. Didukung oleh kawanku yang tadi senang bermesraan, aku kabur dari kelas matematika. Percuma juga aku berada di kelas kawan, ibunya tidak ada. Tentu saja aku memutuskan hal itu dengan penuh pertimbangan, alasan kuatku adalah guru matematika tak muncul juga dalam lima menit pertama. Demi cinta kawan, demi cinta. Bolos pun kami rela. Tolong berhenti tertawa kawan, bisa?
Jendela merah kelas satu, menjadi saksi saat pandangan aku dan si wanita menawan bertemu. Jendela merah kelas satu, menjadi saksi kawanku yang melotot mengingatkan batas waktu, sekarang hari sabtu, sudah dua hari kalau begitu. Jendela merah kelas satu, menjadi saksi kawanku yang senang bermesraan itu, bermesraan lagi meski di batasi dinding batu. Hantu.
Dan hujan pun berhenti. Rasa kantuk yang luar biasa memaksa kami untuk menghentikan cerita ini. Aku pamit pergi pada sahabatku yang berjanji akan melanjutkan ceritanya lain kali. Aku pulang, dini hari. Di perjalanan, Aku teringat kata-kata seorang teman, yang padaku dia katakan begini:
Dalam kehidupan lelaki, dia akan mengenang satu orang sampai mati, mencintai satu orang sepenuh hati dan menikahi satu orang untuk menjadi teman pagi.
Dan satu orang itu, bisa benar-benar hanya satu orang, meski jarang orang yang dia kenang, dia cintai dan dia nikahi itu benar-benar hanya satu orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar