Rabu, 06 Juli 2011

Cuma Tiga Celana Part II

Mari kita lanjutkan perjuangan kawan! saatnya kukeluarkan benang-benang pikiran yang berantakan, agar kau susun di benakmu menjadi cerita yang menawan. Ingat, hanya dibenakmu kawan.

Apa kau rasakan sekarang? lihatlah wajahku yang berang. Bukan karena kau yang menghabiskan setoples kacang. Lebih baik kuceritakan sekarang, agar hati ini lebih sedikit tenang.
Hanya berselang semalam, sebelum akhirnya seorang teman datang padaku. Kebetulan temanku itu adalah kakak tingkatku setahun, yang berarti satu tingkat dengan wanita itu. Ya, wanita tiga celana itu. Aku percaya kata-kata temanku, karena dia temanku, sepertimu. Dia bilang padaku, bahwa wanita tiga celana itu sengaja mendekatiku, untuk memanfaatkanku. Aku membisu. Hatiku seperti tertusuk ribuan paku. Mata ini memerah marah memandanginya yang sedang berbisik dengan para temannya di kursi panjang beberapa meter didepanku. Mereka pasti sedang membicarakanku. Mereka tertawa setelah wanita tiga celana itu menceritakan sesuatu yang sepertinya lucu. Pasti aku! Kuambil sebotol air mineral di meja yang ada disebelah kiriku. Jangan! cegah temanku. Yang mau melempar dia siapa, kataku. Kuminum habis sebotol air mineral itu. Temanku memandang takjub padaku. Lagi haus, kubilang padanya begitu.

Jadi ternyata aku dipermainkannya dengan sengaja. Diri ini tidak bisa begitu saja menerimanya. Muncul pikiran jahat untuk membalas dendam padanya, si wanita tiga celana. Kita lihat saja, siapa yang mempermainkan siapa. Saat pagi tiba, aku terlihat bersemangat luar biasa. Sudah banyak ide gila tentang apa yang akan kulakukan pada si wanita tiga celana di kepala. Aku berangkat untuk jalan-jalan keliling kota bersama rombongan lainnya. Aku menghampirinya, dan sebisa mungkin menyembunyikan rencana jahat dibalik senyum bahagia. Dia memandangku dengan menekuk dahinya, katanya raut wajahku tak seperti biasa. Masa? kataku padanya menyingkirkan seringai jahat setelah tanpa disadarinya aku memandangi beberapa bagian tubuhnya. Hei, tolong wajahmu biasa saja ya? aku sudah berusaha mengungkapkan apa yang kulihat sesopan-sopannya. Baiklah, setelah kuperhatikan. dia boleh juga. Dia memakai salah satu celana yang kami beli bersama. Dasar wanita tiga celana.

Sepanjang perjalanan aku berusaha untuk mencari kesempatan. Di pinggangnya aku melingkarkan tangan kanan. Dia tidak punya alasan untuk keberatan, karena saat membeli tiga celana juga demikian. Tak tau sudah kemana saja tangan ini gentayangan. Peduli setan meski kepala sekolah terus memperhatikanku dengan cekatan. wanita tiga celana itu terlihat tidak nyaman dengan apa yang sedang aku lakukan. Hatiku berkata, rasakan sambil tertawa penuh kemenangan. Jangan meringis seperti itu kawan. Tentu aku mengerti batasan. Kau saja jangan sampai membayangkan yang kelewatan. Beruntung kami tidak melewati satu toko celanapun di sepanjang jalan. Kalau sampai demikian, mungkin aku pulang dengan baju pinjaman.
malamnya, tak seperti biasa dia tak mengajakku makan. Aku heran, kenapa bisa demikian. Batinku tertawa, mungkin karena sikapku tadi keterlaluan. Yah, saatnya untuk menjelaskan semua perbuatan. Sekalian meminta penjelasan siapa tau aku dan temanku sedang berbuat kesalahan. Karena sesungguhnya wanita itu sangat menawan. Namun setelah sampai di warung makan seberang jalan, aku terkesan. Ternyata si wanita tiga celana sedang asik berkencan sambil suap-suapan. Yang semakin membuatku terkesan, lelaki itu ternyata temanku satu angkatan, satu angkatan denganmu juga kawan, dengan kantong yang lebih mapan. Aku terkesan, wanita tiga celana itu ternyata lebih hebat dari perkiraan. Aku mengendap-endap dan duduk di sudut warung yang gelap agar tidak kelihatan. Tambah hebat saja mereka bermesraan, malah sambil cubit-cubitan. Hati semakin panas, si wanita tiga celana memberikan belaian sambil memegang tangan temanku itu, Sialan. Ya sudahlah pikirku, lebih baik aku makan. Aku takkan sanggup menahan serangan jika perut keroncongan. Jangan sampai perut yang lapar berujung pada pembantaian. Lebih baik aku membantai Ayam bakar yang tiba dihadapan. Aku mulai makan.
Dan disaat itu, muncul sang dewi penyelamat malamku yang menepuk bahuku ringan. Aku menoleh dan tak percaya apa yang ada di hadapan. Dia salah satu kakak kelas yang juga bertampang lumayan. Dewi penyelamat itu meminta izin untuk duduk bersebelahan. Aku tidak keberatan, asal jangan ikut membantai ayam bakar yang sedang aku makan. Lagipula, haruskah aku keberatan akan kehadiran seorang wanita cantik yang memiliki bola mata indah menawan? Kau juga pasti tak keberatan.
Kau tau, pesonanya menyihir diriku untuk tidak lagi memperhatikan si wanita tiga celana. Kubiarkan saja dia bermesraan dengannya, temanku juga. Aku ikut bahagia bila temanku bahagia. Tentu saja kata-kata barusan tidak akan keluar jika aku tak dapat gantinya. Ternyata Sang Dewi Penyelamatku asik diajak bicara. Topik pembicaraannya luas, bahkan caraku bicara juga dibahasnya. Dia suka pada gayaku ketika berbicara, punya ciri khas katanya. Aku susah untuk percaya, apa Sang Dewi penyelamat ini sedang menggoda? pertanyaan ini kutanyakan padanya. Siapa yang tak berusaha mencoba menggoda lelaki tampan seperti aku katanya. Aah, aku tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkannya. Aku tergoda. Hei, tolong wajahmu biasa saja ya? mengejek saja bisanya.
Rupanya ada yang tidak senang melihatku. Siapa lagi kalau bukan wanita tiga celana itu. Terlihat jelas wajahnya yang cemburu dibalik sinar lampu. Aku tak ada waktu mengurusmu, cibirku padanya lewat tatapan dinginku.

Aku kembali ke penginapan dengan riang gembira. Duka lara yang menerpa hilang begitu saja, dengan sang Dewi Penyelamat yang kini menemani disampingku dengan rela. Didepan teras, ada dua teman yang memandangiku tak percaya. Kukedipkan mata ini untuk memberikan kode kepada keduanya. Mereka mengerti lalu masuk, salah satu temanku yang gendut mengangkat jempol menyemangatiku sebelum menutup pintunya. Aku duduk di sebelah kanannya. Dia menengadah menatap angkasa, melihat bintang yang berkelip tiada hentinya. Kuperhatikan garis wajahnya yang anggun, lembut dan bersahaja. Seketika hatiku mengakui keindahannya. Beberapa lama kami hanya bicara. Kemudian kami saling membisu karena rasanya semua kata dalam kamus bahasa indonesia sudah kami pakai  sebagai bahan bicara.
Aku tak mengerti, apa kini ku mulai bermimpi? Dewi penyelamatku itu membaringkan kepalanya di bahuku ini. Sebenarnya tangan kananku sudah mulai kesemutan, tetapi aku senang karena itu bukti bahwa aku tidak sedang bermimpi. Matanya terpejam, aku bungkam ditelan kegelapan malam. Hasrat ini tak bisa lagi diredam. Tanganku membelai rambutnya, berusaha membuatnya nyaman sambil berdoa dia tak menyadari bau tubuhku yang masam. Tidurnya terlihat manis sekali. Tak tahan lagi menahan rasa ini. Kukecup keningnya kali ini. Dan kulihat dia tersenyum meski matanya tetap terpejam. Jadilah saksi hati yang dipenuhi bunga cinta yang terkembang wahai malam. Dan mataku mulai terpejam, sebelum akhirnya kami berdua kaget bukan kepalang ketika kepala sekolah sudah berdiri di hadapan kemudian berdeham geram. Jahanam.

Esok paginya, mentari kembali terlihat cerah seperti sedia kala. Tawa canda remaja meruak di seluruh penjuru penginapan. Guru-guru hanya pasrah sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan anak didiknya. Mereka pasti mengerti apa yang sedang dipikirkan kami para remaja ingusan.
Dan Dia, sang dewi penyelamatku, kini sedang tersenyum dihadapanku. Kubalas senyuman itu dengan tatapan mesra sebisaku. Kata Kahlil Gibran, yang sudah kuterjemahkan dalam versi pemahamanku akan kata-katanya, cinta bisa saja hadir dalam sekejap waktu, tanpa kita tau, tanpa menunggu.
Pertanyaannya, benarkah itu cinta?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar