Minggu, 10 Juli 2011

Cuma Tiga Celana Part III

Aku merasa bersalah pada sahabatku itu. Kutulis ulang ceritanya sambil tertawa hingga sakit perutku. Tak apalah, ini sebagai ucapan terima kasihku. Kuanggap kau guru, sahabatku. Agar aku tak sepertimu. Maaf, sekarang aku tertawa lagi hingga sakit perutku.

Aku mulai fokus pada perjalanan yang menanti didepanku. Biasa, remaja sepertiku, sepertimu, seperti yang lainnya juga yang seumur itu pasti menanti pengalaman seru. Tak lupa juga, sambil mengecek isi dompetku. Lumayan, tambahan uang saku dari pamanku di Jogja membuat tenang hatiku. Aku melirik pada Sang Dewi Penyelamat yang duduk disebelahku. Tenang sayang, aku akan menjadikan hari ini menjadi kenangan yang tak terlupakan dalam hidupmu, batinku. Dia menoleh padaku, menghentikan detak jantungku. Apa dia bisa membaca pikiranku? Dia hanya tersenyum lugu. Kubalas senyuman itu dengan senyumanku, malu. Dia tertawa melihat rona merah dipipiku. Masa? kataku sambil tersipu malu. Hei, Biasa aja mukamu? Dasar kamu, Bisanya mengejekku.

Rombongan kami sampai di Tawangmangu. Mengingat terbatasnya waktu dan uang saku, tempat wisata yang dituju hanya satu, yaitu Grojogan Sewu. Benar kawan, air terjun pertama yang kulihat dalam hidupku. Lelah perjalanan tak lagi mengganggu. Kami semua memeluk satu sama lain dengan haru, saat menuruni anak tangga satu per satu. Sang Dewi Penyelamatku tak henti-hentinya menarik jaket, menunjuk kesana kemari ke berbagai penjuru. Benar, Grojogan Sewu membuat aku tak bisa membungkam mulutku. Begitu alam seolah menyatu dengan alam tubuhku. Udaranya yang sejuk melancarkan aliran darahku. Wajar saja sahabatku, di kampung halamanku tidak begitu. Aku memejamkan mata, kemudian bergidik ngeri seolah ada yang menarik air minum dari tanganku. Dengan sigap kutarik tanganku, dan seekor monyet ternyata telah sukses membawa lari air minumku. Terlalu.

Ternyata disini banyak monyet-monyet yang berkeliaran. Sang Dewi Penyelamat mencoba menenangkanku, sapukan tangannya ke pungggungku, sambil tertawa riang melihat monyet pencuri air minumku tadi kegirangan. Jangan sampai kau kutangkap monyet sialan, kalau sampai tertangkap, kulempar kau pada buaya sebagai menu sarapan. Kami berdua bergegas menuju air terjun. Tentu kita datang kesana bukan hanya untuk melamun. Sampailah aku dibawah air terjun itu, aku menghela nafas panjang dan merentangkan tangan. Tiba-tiba saja wajahku terkena cipratan. Dan dia Sang Dewi Penyelamat, tertangkap tangan. Aku mengejarnya, Dia menghindar sambil tertawa, aku semakin bersemangat mengejarnya, akhirnya aku dan dia saling kejar-kejaran, seperti monyet-monyet yang berkeliaran.


Guru-guru meneriaki kami yang sedang berlarian, katanya hati-hati terpeleset. Sekali lagi Guru-guru hanya menggeleng pasrah melihat siswanya yang selalu mengabet. Maaf guru-guru, kenakalan di otak kami seperti benalu pada pohon yang melengket. Proses kejar-kejaran antara aku dan Dewi Penyelamatku berjalan awet. Dan suatu ketika, aku berhasil menangkapnya, melingkarkan tangan di pinggangnya dan menggenggam mesra tangannya.. coba kau bayangkan pose pasangan penari balet. Romantis kan monyet? Sudahlah, aku hanya bercanda, berhentilah melet. Aku sempat memperhatikan sekelilingku, ternyata kami sudah jauh dari keramaian, tinggal disana-sini masih terlihat monyet-monyet. Dan aku melihat dia, sang Dewi penyelamat menutup mata..ah, buset. Tubuhku semakin mepet. Sebenarnya aku hendak buang angin, tapi demi monyet, kutahan saja.. buset, aku hampir mencret. Dan disaat yang bersamaan saat bibirku dan bibirnya hampir mencapai garis finish, diujung sana teriakan maut kepala sekolah membahana memecah hening kedamaian tempat indah itu, murka pada kami berdua yang terhenyak dengan tampang seperti maling ayam yang dikepung warga. Monyet.

Kami seperti tahanan disini, disudut jauh dari mereka yang bermain air terjun, dekat paman sate kelinci. Kami duduk disebuah bangku panjang, Sang Dewi Penyelamat duduk nun jauh disudut bangku sana, dan aku disudut bangku sini. Sementara kepala sekolah mondar-mandir dihadapan kami. Petuahnya terlontar tegas dan keras, terutama padaku, yang maaf hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Kupandang geram kedua kawanku yang memperhatikanku, menertawai. Awas kalian nanti, kataku sambil mengacungkan jari tengah dengan sakit hati. Aku mengawasi! Ancam kepala sekolah setelah selesai orasi, mengucapkan selamat pagi lalu pergi. Sore kali, gerutuku padanya, dalam hati. Aku menoleh pada Dewi Penyelamatku, yang ternyata hanya mengikik geli. Baguslah, dia sama sepertiku berarti, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Perut mulai lapar, dan aku mengajaknya makan sate kelinci. Ah, sebentar saja sudah jadi. Sudah masak belum itu kelinci? Sang Dewi Penyelamat mendekatiku dengan penuh hati-hati. Ah, aku mengerti. Dengan hati-hati, tangannya ingin menyuapiku dengan setusuk sate kelinci. Mulutku menganga, sebelum akhirnya sang Dewi Penyelamat tiba-tiba berdiri karena melihat kepala sekolah yang memegangi lidi. Darimana dia dapat itu lidi? Peduli monyet dengan lidi! Aku terjatuh dengan pose yang sungguh lucu sekali, kaki di kepala, kepala di kaki. Sate kelinci yang kupegang jatuh berhamburan kesana kemari. Aku sempat mengerling pada kepala sekolah dan kedua temanku tadi, mereka rupanya sedang asik menertawai. Aku hanya bisa nyengir seadanya, rasanya malu sekali. Dewi Penyelamatku juga memandangiku, dia kasihan namun tetap saja tak bisa menahan geli. Rasanya malu sekali.

Saat berada di Pangandaran, situasi semakin menjadi sangat tidak menyenangkan. Pantai yang begitu indah seharusnya menjadi tempat yang sangat tepat untuk bermesraan. Tapi Sang Dewi Penyelamat kini menjauh dariku, membiarkanku dalam kesendirian. Daripada kerasukan setan pangandaran, lebih baik aku menghibur diri saja, bermain air laut bersama teman-teman. Aku berpapasan dengan kepala sekolah, yang tersenyum padaku penuh kemenangan. Apa kabar wanita tiga celana? Aku seolah sedang mencari kesempatan. Dan ternyata tidak ada kesempatan. Kulihat dengan temanku dia menyusuri pantai sambil berpegangan tangan. Ya Tuhan, inikah cobaan? Seruku sambil menengadahkan tangan. Hei, jangan terlalu serius kawan, aku bercanda barusan, melebih-lebihkan. Tanpa kenangan dengan pasangan, aku mengucapkan selamat tinggal pada Pangandaran.

Menjelang pulang aku malah kesepian. Tak biasanya aku rindu kampung halaman. Sampai-sampai aku tak semangat makan. Sampai didalam bus pun aku merindukan setan. Setan yang menghentikan kejahilan tanganku yang gerayangan. Sebenarnya aku dan Dewi Penyelamat duduk bersebelahan. Tapi aku dan Dewi penyelamat seperti sangat berjauhan. Diapun tak pernah membalas pandangan mesra yang kuberikan. Ah, aku merindukan si Jahanam, yang melihat kemesraanku dengan geram. Aku kesepian disini, Aku merindukan monyet.

Sesampainya kami di semarang, Dewi penyelamat tak menunggu untuk turun bersamaku. Dia berhamburan keluar dari pintu. Aku mengikutinya, dan betapa pemandangan mengerikan terjadi dihadapanku. Sudah ada pria yang menyambut Dewi Penyelamatku. Aku terharu, hatiku tersayat pilu. Temanku, yang mengungkapkan jati diri si wanita tiga celana, berdiri disampingku. Ternyata dia membiarkanku untuk bersenang-senang dahulu. Dia malas memberitahuku bahwa sebenarnya sang Dewi Penyelamat sudah punya penunggu. Dia meyakinkanku dan bertanya apakah aku tak melihat cincin emas yang melingkar di jari manisnya itu.
Aku mengepal geram. Temanku mengucapkan singkat kata selamat malam. Dia berlari menghindariku yang siap mencerkam. Aku mengejarnya membabi buta menembus jalanan kelam.

Tiba saatnya kami rombongan remaja ingusan pulang ke kampung halaman. Dan si pria berwajah rupawan ini kembali mendapatkan pasangan. Benar kawan, lagi-lagi wanita yang mendekatiku adalah kakak kelas satu angkatan. Aku merasa bersalah kawan, aku lelah dengan semua kejadian. Yang ini semakin kelewatan, membuat imanku keteteran. Coba kau bayangkan? Dia ingin tidur bersamaku dalam satu ruangan! Aku berjuang, melawan nafsu setan. Alih-alih mengikuti ajakannya, aku berlari ke atas anjungan. Kupandangi laut luas yang ada dihadapan. Kau tak akan percaya siapa yang datang padaku kawan. Benar, Kepala Sekolah kini berada didekatku, bersebelahan. Dan nasehatnya sampai kini takkan kulupakan:

Anak didikku, aku bukan ingin menjadi setan
Yang selalu mengganggumu, dalam bis bermesraan
Justru aku ingin mengusir setan yang sedang memberikan rayuan
Anak didikku, aku tak bermaksud menjadi jahanam
Merusak malammu, saat kau nyaman berduaan dalam kelam
Apa kau tak tau, berduaan dengan yang bukan mukhrim itu haram?
Apa karena aku risih melihat kalian berdua yang terus lengket
Lalu aku pantas dipanggil monyet?

Tapi aku yakin, kali kini kau tak lagi memberikanku sebuah sebutan
Karena kulihat kau sudah mengerti gunanya iman.

Suatu saat, disini, didepan teras ini, aku merenung sendiri. Makna apa yang kudapat dari perjalanan sepuluh hari. Apa benar semuanya tentang cinta? Atau sekedar nafsu belaka?

Semua ini bukan cerita cinta, semua ini cuma cerita tentang tiga celana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar