Minggu, 24 Juli 2011

Semangkuk Mie Ayam (Part I)

Aku duduk berdua dengan kawanku itu di depan rumahnya. Hujun turun gerimis, mengembunkan bening kaca. Seperti biasa, matanya mulai menerawang jauh menembus kegelapan yang meraja. Sepertinya pelajaran hidup akan dimulai dengan segera. Dimulai dengan tawanya, dia bercerita.

Dengar, kini aku akan bercerita tentang kisah yang tak patut kau coba. Tapi, kalau kau ingin mencoba, terserah kamu saja. Cerita ini dimulai dua minggu setelah cerita kemarin kawan, setelah cerita tentang tiga celana. Dan cukup dua minggu, aku jalani hidup sebagai remaja haus pengalaman tanpa wanita.

Konon, di sebuah warung kami sedang duduk tenang, menunggu kedatangan mie ayam pesanan. Satu kawanku sedang bermesraan, terkekeh bangga pada kami karena punya kecengan. Kawanku yang lain, menertawaiku habis-habisan saat kami bercerita tentang aku yang jadi korban pemerasan. Tak ketinggalan temanku tadi yang sedang bermesraan, ikut-ikutan cengengesan. Aku hanya bisa tertunduk malu, hanya bisa melawan dengan kata, sialan kalian. Mie ayam pesanan datang dihadapan. Saatnya berhenti ejek-ejekan, kami mulai fokus memenuhi tuntutan cacing-cacing dalam perut yang kelaparan. Aku melirik pada kawanku yang tadi punya kecengan, mereka bermesraan sambil suap-suapan! Sial, aku jadi ingin merasakan. Rupanya, kawanku yang satu lagi memperhatikan. Lalu dia mulai bercerita tentang seorang teman, teman darinya, yang menurut dia adalah seorang gadis yang menawan. Siapa kawan? Kutanyakan padanya dengan wajah penasaran. Dia satu kelas denganku kawan, jawabnya diakhiri dengan senyuman. Kalau begitu pertemukanlah denganku yang kesepian ini, jawabku spontan. Dia memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki, wajahnya terlihat tidak yakin. Apa maksudmu memandangiku seperti itu? Tanyaku heran. Katanya tidak mungkin aku dan wanita itu jadian. Wah, rupanya dia sedang menyodorkan sebuah tantangan. Aku suka tantangan.

Kami berdua sepakat untuk bertaruh semangkuk mie ayam, dengan kawanku yang di warung tadi bermesraan sebagai saksi penentu. Isi taruhannya adalah, aku yang tampan ini harus bisa pacaran dengan wanita menawan tadi dalam waktu satu minggu, dimulai hari itu. Biasa aja mukamu? Seperti mau muntah begitu.
Aku terima tantangan kawanku, dengan syarat dia harus mengenalkan si wanita menawan itu padaku. Kawanku setuju. Saat selesai pelajaran olahraga, aku pergi ke kantin dan duduk di sebuah bangku. Aku duduk tepat menghadap ke arah jendela kelas kawanku. Jarak kantin dan jendela kelasnya mungkin tiga meter, kurang lebih begitu. Kulempari jendela itu dengan tisu, sampai akhirnya dia melihat padaku. Setelah memastikan guru tidak memperhatikan, kawanku itu mengangguk dan menunjukkan jarinya pada wanita yang duduk tepat di hadapannya padaku. Kulihat wanita yang katanya menawan itu. Lumayan, pikirku. Aku memanggil nama si wanita menawan, yang menoleh kaget mencari arah suaraku. Dan akhirnya pandangan kami berdua bertemu. Dia tersenyum padaku. Asik, pertanda baik bagiku. Biasanya bila wanita yang tidak kukenal kupanggil begitu, tak lama pasti di wajahku ada bekas tinju. Kupanggil kawanku, lalu kuteriakkan padanya agar menyampaikan salamku pada si wanita menawan, yang sedang menunduk malu. Sambil mencoleknya dengan sebuah pulpen, kawanku menyampaikan salamku. Aku melihat wanita itu tersenyum malu pada kawanku, lalu menoleh lagi padaku, kemudian tersenyum sambil tersipu malu. Asik, lagi-lagi pertanda baik bagiku. Dan segera aku pura-pura tak melihat kawanku, membalikkan badan dan pura-pura berbicara pada temanku yang sedang mendinginkan wajahnya dengan sebongkah es batu. Aku melirik pada kawanku, yang kini sedang kesakitan karena dijewer pak guru. Aku tertawa, kuangkat jempolku padanya yang masih meringis itu. Rupanya pak guru memperhatikanku, lalu menatap tajam padaku. Kutelan ludahku. Sedikit demi sedikit aku bergeser dari bangku, dan sekejap saja pak guru melepaskan pandangannya, aku ambil langkah seribu. Aku tak mau nanti orangtuaku ada di rumah sakit, terduduk pilu di ruang tunggu. Kau tau kan Guru Geografi itu? Nah itu, yang terkenal dengan jurus Kapur Tulis Pemecah Batu.

Aku resmi berkenalan dengan si wanita menawan. Biasa, awal perkenalan kami berdua tentang garis besar riwayat hidup dari lahir hingga jadi remaja ingusan. Temanku setia memperhatikan perkembangan, sambil menyedekapkan tangan. Temanku yang satu lagi, yang tadi kubilang diwarung sedang bermesraan, sedang bermesraan. Dimana-mana bermesraan. Di depan kelas, bermesraan. Di kantin, bermesraan sambil makan tak peduli walau sering kesedakan. Bahkan, di depan WC bermesraan, sambil menunggu antrian. Wajar kawan, wajar, di sekolah kita saja jutaan setan berkeliaran. Aku sudah tak tahan berada di dekat mereka berdua kawan. Cerita ini akan penuh dengan kata “bermesraan”. Barusan kuulang lagi kata itu kawan. Akhirnya kuputuskan untuk mengajak si wanita menawan untuk makan. Dia mengangguk pelan. Kami berjalan beriringan, dia di belakang aku di depan. Dia pasti memperhatikanku dari belakang, apakah jalanku keren atau tidak kawan. Ya sudah, aku mulai beraksi menunjukkan betapa gagahnya aku berjalan. Benar saja, tak hanya si wanita menawan mungkin yang terpesona padaku, mereka yang sedang duduk-duduk di depan kursi menjerit histeris melihat aku yang tampan. Dan ternyata aku terlalu berlebihan, maksud mereka memperingatkan kalau jalanku melenceng ke selokan. Aku kaget bukan kepalang, tapi akal masih punya jalan. Aku meraih tangan si wanita menawan, yang menahanku agar tidak jatuh sempoyongan ke dalam selokan. Dia tersenyum dan berkata, perhatikan jalannya tampan. Asik, kini peluang jadian terbentang dihadapan. Kenapa kawan? Itu ember ada di sebelah kanan.

Keesokan harinya, tak lengkap rasanya hari ini jika tak pergi ke kantin yang berada disamping kelas si wanita menawan berada. Didukung oleh kawanku yang tadi senang bermesraan, aku kabur dari kelas matematika. Percuma juga aku berada di kelas kawan, ibunya tidak ada. Tentu saja aku memutuskan hal itu dengan penuh  pertimbangan, alasan kuatku adalah guru matematika tak muncul juga dalam lima menit pertama. Demi cinta kawan, demi cinta. Bolos pun kami rela. Tolong berhenti tertawa kawan, bisa?
Jendela merah kelas satu, menjadi saksi saat pandangan aku dan si wanita menawan bertemu. Jendela merah kelas satu, menjadi saksi kawanku yang melotot mengingatkan batas waktu, sekarang hari sabtu, sudah dua hari kalau begitu. Jendela merah kelas satu, menjadi saksi kawanku yang senang bermesraan itu, bermesraan lagi meski di batasi dinding batu. Hantu.

Dan hujan pun berhenti. Rasa kantuk yang luar biasa memaksa kami untuk menghentikan cerita ini. Aku pamit pergi pada sahabatku yang berjanji akan melanjutkan ceritanya lain kali. Aku pulang, dini hari. Di perjalanan, Aku teringat kata-kata seorang teman, yang padaku dia katakan begini:

Dalam kehidupan lelaki, dia akan mengenang satu orang sampai mati, mencintai satu orang sepenuh hati dan menikahi satu orang untuk menjadi teman pagi.
Dan satu orang itu, bisa benar-benar hanya satu orang, meski jarang orang yang dia kenang, dia cintai dan dia nikahi itu benar-benar hanya satu orang. 

Selasa, 12 Juli 2011

Malam, Pagi atau Senja

Aku jatuh cinta kepada malam
dengannya aku berbagi cerita dalam keheningan
meneteskan airmata dalam pelukan hangat kelam
sampai detik mengantarkan pagi membangunkan


Aku jatuh cinta kepada pagi
dia membakar semangatku untuk berdiri
bersiap berlari melewati hari
hingga kulihat senja menanti


Aku jatuh cinta kepada senja
warna keemasannya megah mempesona
lalu nurani menggetarkan jiwa
benarkah kini aku memiliki tiga cinta?


andai saja aku setia pada malam,
maka pagi akan muram, senja akan terbenam.
jika aku berjalan dengan pagi,
malam takkan hangat lagi, senja takkan mau mendekati.
sungguhpun aku ingin bersama senja,
apa kata pagi, malam pasti dingin dan murka.


yang mana harus kucinta?
malam, pagi atau senja?

Minggu, 10 Juli 2011

Cuma Tiga Celana Part III

Aku merasa bersalah pada sahabatku itu. Kutulis ulang ceritanya sambil tertawa hingga sakit perutku. Tak apalah, ini sebagai ucapan terima kasihku. Kuanggap kau guru, sahabatku. Agar aku tak sepertimu. Maaf, sekarang aku tertawa lagi hingga sakit perutku.

Aku mulai fokus pada perjalanan yang menanti didepanku. Biasa, remaja sepertiku, sepertimu, seperti yang lainnya juga yang seumur itu pasti menanti pengalaman seru. Tak lupa juga, sambil mengecek isi dompetku. Lumayan, tambahan uang saku dari pamanku di Jogja membuat tenang hatiku. Aku melirik pada Sang Dewi Penyelamat yang duduk disebelahku. Tenang sayang, aku akan menjadikan hari ini menjadi kenangan yang tak terlupakan dalam hidupmu, batinku. Dia menoleh padaku, menghentikan detak jantungku. Apa dia bisa membaca pikiranku? Dia hanya tersenyum lugu. Kubalas senyuman itu dengan senyumanku, malu. Dia tertawa melihat rona merah dipipiku. Masa? kataku sambil tersipu malu. Hei, Biasa aja mukamu? Dasar kamu, Bisanya mengejekku.

Rombongan kami sampai di Tawangmangu. Mengingat terbatasnya waktu dan uang saku, tempat wisata yang dituju hanya satu, yaitu Grojogan Sewu. Benar kawan, air terjun pertama yang kulihat dalam hidupku. Lelah perjalanan tak lagi mengganggu. Kami semua memeluk satu sama lain dengan haru, saat menuruni anak tangga satu per satu. Sang Dewi Penyelamatku tak henti-hentinya menarik jaket, menunjuk kesana kemari ke berbagai penjuru. Benar, Grojogan Sewu membuat aku tak bisa membungkam mulutku. Begitu alam seolah menyatu dengan alam tubuhku. Udaranya yang sejuk melancarkan aliran darahku. Wajar saja sahabatku, di kampung halamanku tidak begitu. Aku memejamkan mata, kemudian bergidik ngeri seolah ada yang menarik air minum dari tanganku. Dengan sigap kutarik tanganku, dan seekor monyet ternyata telah sukses membawa lari air minumku. Terlalu.

Ternyata disini banyak monyet-monyet yang berkeliaran. Sang Dewi Penyelamat mencoba menenangkanku, sapukan tangannya ke pungggungku, sambil tertawa riang melihat monyet pencuri air minumku tadi kegirangan. Jangan sampai kau kutangkap monyet sialan, kalau sampai tertangkap, kulempar kau pada buaya sebagai menu sarapan. Kami berdua bergegas menuju air terjun. Tentu kita datang kesana bukan hanya untuk melamun. Sampailah aku dibawah air terjun itu, aku menghela nafas panjang dan merentangkan tangan. Tiba-tiba saja wajahku terkena cipratan. Dan dia Sang Dewi Penyelamat, tertangkap tangan. Aku mengejarnya, Dia menghindar sambil tertawa, aku semakin bersemangat mengejarnya, akhirnya aku dan dia saling kejar-kejaran, seperti monyet-monyet yang berkeliaran.


Guru-guru meneriaki kami yang sedang berlarian, katanya hati-hati terpeleset. Sekali lagi Guru-guru hanya menggeleng pasrah melihat siswanya yang selalu mengabet. Maaf guru-guru, kenakalan di otak kami seperti benalu pada pohon yang melengket. Proses kejar-kejaran antara aku dan Dewi Penyelamatku berjalan awet. Dan suatu ketika, aku berhasil menangkapnya, melingkarkan tangan di pinggangnya dan menggenggam mesra tangannya.. coba kau bayangkan pose pasangan penari balet. Romantis kan monyet? Sudahlah, aku hanya bercanda, berhentilah melet. Aku sempat memperhatikan sekelilingku, ternyata kami sudah jauh dari keramaian, tinggal disana-sini masih terlihat monyet-monyet. Dan aku melihat dia, sang Dewi penyelamat menutup mata..ah, buset. Tubuhku semakin mepet. Sebenarnya aku hendak buang angin, tapi demi monyet, kutahan saja.. buset, aku hampir mencret. Dan disaat yang bersamaan saat bibirku dan bibirnya hampir mencapai garis finish, diujung sana teriakan maut kepala sekolah membahana memecah hening kedamaian tempat indah itu, murka pada kami berdua yang terhenyak dengan tampang seperti maling ayam yang dikepung warga. Monyet.

Kami seperti tahanan disini, disudut jauh dari mereka yang bermain air terjun, dekat paman sate kelinci. Kami duduk disebuah bangku panjang, Sang Dewi Penyelamat duduk nun jauh disudut bangku sana, dan aku disudut bangku sini. Sementara kepala sekolah mondar-mandir dihadapan kami. Petuahnya terlontar tegas dan keras, terutama padaku, yang maaf hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Kupandang geram kedua kawanku yang memperhatikanku, menertawai. Awas kalian nanti, kataku sambil mengacungkan jari tengah dengan sakit hati. Aku mengawasi! Ancam kepala sekolah setelah selesai orasi, mengucapkan selamat pagi lalu pergi. Sore kali, gerutuku padanya, dalam hati. Aku menoleh pada Dewi Penyelamatku, yang ternyata hanya mengikik geli. Baguslah, dia sama sepertiku berarti, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Perut mulai lapar, dan aku mengajaknya makan sate kelinci. Ah, sebentar saja sudah jadi. Sudah masak belum itu kelinci? Sang Dewi Penyelamat mendekatiku dengan penuh hati-hati. Ah, aku mengerti. Dengan hati-hati, tangannya ingin menyuapiku dengan setusuk sate kelinci. Mulutku menganga, sebelum akhirnya sang Dewi Penyelamat tiba-tiba berdiri karena melihat kepala sekolah yang memegangi lidi. Darimana dia dapat itu lidi? Peduli monyet dengan lidi! Aku terjatuh dengan pose yang sungguh lucu sekali, kaki di kepala, kepala di kaki. Sate kelinci yang kupegang jatuh berhamburan kesana kemari. Aku sempat mengerling pada kepala sekolah dan kedua temanku tadi, mereka rupanya sedang asik menertawai. Aku hanya bisa nyengir seadanya, rasanya malu sekali. Dewi Penyelamatku juga memandangiku, dia kasihan namun tetap saja tak bisa menahan geli. Rasanya malu sekali.

Saat berada di Pangandaran, situasi semakin menjadi sangat tidak menyenangkan. Pantai yang begitu indah seharusnya menjadi tempat yang sangat tepat untuk bermesraan. Tapi Sang Dewi Penyelamat kini menjauh dariku, membiarkanku dalam kesendirian. Daripada kerasukan setan pangandaran, lebih baik aku menghibur diri saja, bermain air laut bersama teman-teman. Aku berpapasan dengan kepala sekolah, yang tersenyum padaku penuh kemenangan. Apa kabar wanita tiga celana? Aku seolah sedang mencari kesempatan. Dan ternyata tidak ada kesempatan. Kulihat dengan temanku dia menyusuri pantai sambil berpegangan tangan. Ya Tuhan, inikah cobaan? Seruku sambil menengadahkan tangan. Hei, jangan terlalu serius kawan, aku bercanda barusan, melebih-lebihkan. Tanpa kenangan dengan pasangan, aku mengucapkan selamat tinggal pada Pangandaran.

Menjelang pulang aku malah kesepian. Tak biasanya aku rindu kampung halaman. Sampai-sampai aku tak semangat makan. Sampai didalam bus pun aku merindukan setan. Setan yang menghentikan kejahilan tanganku yang gerayangan. Sebenarnya aku dan Dewi Penyelamat duduk bersebelahan. Tapi aku dan Dewi penyelamat seperti sangat berjauhan. Diapun tak pernah membalas pandangan mesra yang kuberikan. Ah, aku merindukan si Jahanam, yang melihat kemesraanku dengan geram. Aku kesepian disini, Aku merindukan monyet.

Sesampainya kami di semarang, Dewi penyelamat tak menunggu untuk turun bersamaku. Dia berhamburan keluar dari pintu. Aku mengikutinya, dan betapa pemandangan mengerikan terjadi dihadapanku. Sudah ada pria yang menyambut Dewi Penyelamatku. Aku terharu, hatiku tersayat pilu. Temanku, yang mengungkapkan jati diri si wanita tiga celana, berdiri disampingku. Ternyata dia membiarkanku untuk bersenang-senang dahulu. Dia malas memberitahuku bahwa sebenarnya sang Dewi Penyelamat sudah punya penunggu. Dia meyakinkanku dan bertanya apakah aku tak melihat cincin emas yang melingkar di jari manisnya itu.
Aku mengepal geram. Temanku mengucapkan singkat kata selamat malam. Dia berlari menghindariku yang siap mencerkam. Aku mengejarnya membabi buta menembus jalanan kelam.

Tiba saatnya kami rombongan remaja ingusan pulang ke kampung halaman. Dan si pria berwajah rupawan ini kembali mendapatkan pasangan. Benar kawan, lagi-lagi wanita yang mendekatiku adalah kakak kelas satu angkatan. Aku merasa bersalah kawan, aku lelah dengan semua kejadian. Yang ini semakin kelewatan, membuat imanku keteteran. Coba kau bayangkan? Dia ingin tidur bersamaku dalam satu ruangan! Aku berjuang, melawan nafsu setan. Alih-alih mengikuti ajakannya, aku berlari ke atas anjungan. Kupandangi laut luas yang ada dihadapan. Kau tak akan percaya siapa yang datang padaku kawan. Benar, Kepala Sekolah kini berada didekatku, bersebelahan. Dan nasehatnya sampai kini takkan kulupakan:

Anak didikku, aku bukan ingin menjadi setan
Yang selalu mengganggumu, dalam bis bermesraan
Justru aku ingin mengusir setan yang sedang memberikan rayuan
Anak didikku, aku tak bermaksud menjadi jahanam
Merusak malammu, saat kau nyaman berduaan dalam kelam
Apa kau tak tau, berduaan dengan yang bukan mukhrim itu haram?
Apa karena aku risih melihat kalian berdua yang terus lengket
Lalu aku pantas dipanggil monyet?

Tapi aku yakin, kali kini kau tak lagi memberikanku sebuah sebutan
Karena kulihat kau sudah mengerti gunanya iman.

Suatu saat, disini, didepan teras ini, aku merenung sendiri. Makna apa yang kudapat dari perjalanan sepuluh hari. Apa benar semuanya tentang cinta? Atau sekedar nafsu belaka?

Semua ini bukan cerita cinta, semua ini cuma cerita tentang tiga celana.

Sabtu, 09 Juli 2011

Suatu Saat

Ada saat keindahan ada..
didepan mata, nyata dan mempesona.
Ada saat keindahan itu pergi..
Menghadirkan sedih, kosong dan sepi.
Suatu saat,
semoga keindahan itu kembali ada, kembali nyata dan kembali mempesona.

Rabu, 06 Juli 2011

Cuma Tiga Celana Part II

Mari kita lanjutkan perjuangan kawan! saatnya kukeluarkan benang-benang pikiran yang berantakan, agar kau susun di benakmu menjadi cerita yang menawan. Ingat, hanya dibenakmu kawan.

Apa kau rasakan sekarang? lihatlah wajahku yang berang. Bukan karena kau yang menghabiskan setoples kacang. Lebih baik kuceritakan sekarang, agar hati ini lebih sedikit tenang.
Hanya berselang semalam, sebelum akhirnya seorang teman datang padaku. Kebetulan temanku itu adalah kakak tingkatku setahun, yang berarti satu tingkat dengan wanita itu. Ya, wanita tiga celana itu. Aku percaya kata-kata temanku, karena dia temanku, sepertimu. Dia bilang padaku, bahwa wanita tiga celana itu sengaja mendekatiku, untuk memanfaatkanku. Aku membisu. Hatiku seperti tertusuk ribuan paku. Mata ini memerah marah memandanginya yang sedang berbisik dengan para temannya di kursi panjang beberapa meter didepanku. Mereka pasti sedang membicarakanku. Mereka tertawa setelah wanita tiga celana itu menceritakan sesuatu yang sepertinya lucu. Pasti aku! Kuambil sebotol air mineral di meja yang ada disebelah kiriku. Jangan! cegah temanku. Yang mau melempar dia siapa, kataku. Kuminum habis sebotol air mineral itu. Temanku memandang takjub padaku. Lagi haus, kubilang padanya begitu.

Jadi ternyata aku dipermainkannya dengan sengaja. Diri ini tidak bisa begitu saja menerimanya. Muncul pikiran jahat untuk membalas dendam padanya, si wanita tiga celana. Kita lihat saja, siapa yang mempermainkan siapa. Saat pagi tiba, aku terlihat bersemangat luar biasa. Sudah banyak ide gila tentang apa yang akan kulakukan pada si wanita tiga celana di kepala. Aku berangkat untuk jalan-jalan keliling kota bersama rombongan lainnya. Aku menghampirinya, dan sebisa mungkin menyembunyikan rencana jahat dibalik senyum bahagia. Dia memandangku dengan menekuk dahinya, katanya raut wajahku tak seperti biasa. Masa? kataku padanya menyingkirkan seringai jahat setelah tanpa disadarinya aku memandangi beberapa bagian tubuhnya. Hei, tolong wajahmu biasa saja ya? aku sudah berusaha mengungkapkan apa yang kulihat sesopan-sopannya. Baiklah, setelah kuperhatikan. dia boleh juga. Dia memakai salah satu celana yang kami beli bersama. Dasar wanita tiga celana.

Sepanjang perjalanan aku berusaha untuk mencari kesempatan. Di pinggangnya aku melingkarkan tangan kanan. Dia tidak punya alasan untuk keberatan, karena saat membeli tiga celana juga demikian. Tak tau sudah kemana saja tangan ini gentayangan. Peduli setan meski kepala sekolah terus memperhatikanku dengan cekatan. wanita tiga celana itu terlihat tidak nyaman dengan apa yang sedang aku lakukan. Hatiku berkata, rasakan sambil tertawa penuh kemenangan. Jangan meringis seperti itu kawan. Tentu aku mengerti batasan. Kau saja jangan sampai membayangkan yang kelewatan. Beruntung kami tidak melewati satu toko celanapun di sepanjang jalan. Kalau sampai demikian, mungkin aku pulang dengan baju pinjaman.
malamnya, tak seperti biasa dia tak mengajakku makan. Aku heran, kenapa bisa demikian. Batinku tertawa, mungkin karena sikapku tadi keterlaluan. Yah, saatnya untuk menjelaskan semua perbuatan. Sekalian meminta penjelasan siapa tau aku dan temanku sedang berbuat kesalahan. Karena sesungguhnya wanita itu sangat menawan. Namun setelah sampai di warung makan seberang jalan, aku terkesan. Ternyata si wanita tiga celana sedang asik berkencan sambil suap-suapan. Yang semakin membuatku terkesan, lelaki itu ternyata temanku satu angkatan, satu angkatan denganmu juga kawan, dengan kantong yang lebih mapan. Aku terkesan, wanita tiga celana itu ternyata lebih hebat dari perkiraan. Aku mengendap-endap dan duduk di sudut warung yang gelap agar tidak kelihatan. Tambah hebat saja mereka bermesraan, malah sambil cubit-cubitan. Hati semakin panas, si wanita tiga celana memberikan belaian sambil memegang tangan temanku itu, Sialan. Ya sudahlah pikirku, lebih baik aku makan. Aku takkan sanggup menahan serangan jika perut keroncongan. Jangan sampai perut yang lapar berujung pada pembantaian. Lebih baik aku membantai Ayam bakar yang tiba dihadapan. Aku mulai makan.
Dan disaat itu, muncul sang dewi penyelamat malamku yang menepuk bahuku ringan. Aku menoleh dan tak percaya apa yang ada di hadapan. Dia salah satu kakak kelas yang juga bertampang lumayan. Dewi penyelamat itu meminta izin untuk duduk bersebelahan. Aku tidak keberatan, asal jangan ikut membantai ayam bakar yang sedang aku makan. Lagipula, haruskah aku keberatan akan kehadiran seorang wanita cantik yang memiliki bola mata indah menawan? Kau juga pasti tak keberatan.
Kau tau, pesonanya menyihir diriku untuk tidak lagi memperhatikan si wanita tiga celana. Kubiarkan saja dia bermesraan dengannya, temanku juga. Aku ikut bahagia bila temanku bahagia. Tentu saja kata-kata barusan tidak akan keluar jika aku tak dapat gantinya. Ternyata Sang Dewi Penyelamatku asik diajak bicara. Topik pembicaraannya luas, bahkan caraku bicara juga dibahasnya. Dia suka pada gayaku ketika berbicara, punya ciri khas katanya. Aku susah untuk percaya, apa Sang Dewi penyelamat ini sedang menggoda? pertanyaan ini kutanyakan padanya. Siapa yang tak berusaha mencoba menggoda lelaki tampan seperti aku katanya. Aah, aku tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkannya. Aku tergoda. Hei, tolong wajahmu biasa saja ya? mengejek saja bisanya.
Rupanya ada yang tidak senang melihatku. Siapa lagi kalau bukan wanita tiga celana itu. Terlihat jelas wajahnya yang cemburu dibalik sinar lampu. Aku tak ada waktu mengurusmu, cibirku padanya lewat tatapan dinginku.

Aku kembali ke penginapan dengan riang gembira. Duka lara yang menerpa hilang begitu saja, dengan sang Dewi Penyelamat yang kini menemani disampingku dengan rela. Didepan teras, ada dua teman yang memandangiku tak percaya. Kukedipkan mata ini untuk memberikan kode kepada keduanya. Mereka mengerti lalu masuk, salah satu temanku yang gendut mengangkat jempol menyemangatiku sebelum menutup pintunya. Aku duduk di sebelah kanannya. Dia menengadah menatap angkasa, melihat bintang yang berkelip tiada hentinya. Kuperhatikan garis wajahnya yang anggun, lembut dan bersahaja. Seketika hatiku mengakui keindahannya. Beberapa lama kami hanya bicara. Kemudian kami saling membisu karena rasanya semua kata dalam kamus bahasa indonesia sudah kami pakai  sebagai bahan bicara.
Aku tak mengerti, apa kini ku mulai bermimpi? Dewi penyelamatku itu membaringkan kepalanya di bahuku ini. Sebenarnya tangan kananku sudah mulai kesemutan, tetapi aku senang karena itu bukti bahwa aku tidak sedang bermimpi. Matanya terpejam, aku bungkam ditelan kegelapan malam. Hasrat ini tak bisa lagi diredam. Tanganku membelai rambutnya, berusaha membuatnya nyaman sambil berdoa dia tak menyadari bau tubuhku yang masam. Tidurnya terlihat manis sekali. Tak tahan lagi menahan rasa ini. Kukecup keningnya kali ini. Dan kulihat dia tersenyum meski matanya tetap terpejam. Jadilah saksi hati yang dipenuhi bunga cinta yang terkembang wahai malam. Dan mataku mulai terpejam, sebelum akhirnya kami berdua kaget bukan kepalang ketika kepala sekolah sudah berdiri di hadapan kemudian berdeham geram. Jahanam.

Esok paginya, mentari kembali terlihat cerah seperti sedia kala. Tawa canda remaja meruak di seluruh penjuru penginapan. Guru-guru hanya pasrah sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan anak didiknya. Mereka pasti mengerti apa yang sedang dipikirkan kami para remaja ingusan.
Dan Dia, sang dewi penyelamatku, kini sedang tersenyum dihadapanku. Kubalas senyuman itu dengan tatapan mesra sebisaku. Kata Kahlil Gibran, yang sudah kuterjemahkan dalam versi pemahamanku akan kata-katanya, cinta bisa saja hadir dalam sekejap waktu, tanpa kita tau, tanpa menunggu.
Pertanyaannya, benarkah itu cinta?

Senin, 04 Juli 2011

Cuma Tiga Celana Part I

Sahabatku, apa kabarmu hari ini? Semoga telingamu baik-baik saja hingga dapat mendengarkan lanjutan kisahku.

Ini kisah tentang sepuluh hari yang sangat berarti. Sepuluh hari yang mengajari diri untuk selalu berhati-hati. Sepuluh hari yang membuatku tak bisa dibohongi, dengan mudah, lagi. Sepuluh hari ini adalah perjalananku dari Malioboro hingga Prambanan sampai Tawangmangu lanjut Pangandaran berakhir di Semarang sebelum akhirnya raga ini berada dirumah, lagi.

Seperti pesulap yang membakar tisu dalam sekejap. Entah darimana datangnya, disebelahku sudah ada wanita yang terbaring dipundakku dengan lelap. Aku mengernyit, kapan-kapan ada seorang wanita yang terlelap? Kucoba mengingat-ingat dalam gelap. Kepala sekolah memperhatikanku dengan sigap, mencoba meyakinkanku agar tidak khilaf. Tolong kau mengerti bahwa wajar jika setan berdesakan didalam bus yang pengap.
Lupakan setan, mereka ada didunia lain. Sekarang kita fokus pada tanganku yang mulai kesemutan. Entah ini cerita horor atau bukan, ada yang menggerakkan tanganku dengan sendirinya untuk memberikan belaian! cerita horor atau bukan? wanita itu menggeliat pelan. Sepertinya aku aman, dia tidak keberatan. Kemudian wanita itu berkata, dikepalanya seperti banyak burung yang berterbangan. Dia memintaku agar kepalanya diberi pijatan ringan. Cerita horor atau bukan, ada yang menggerakkan tanganku dengan sendirinya untuk memberikan pijatan! Cerita horor atau bukan? Dia terlihat nyaman, kuintip Kepala Sekolah yang ternyata juga mengintipku, kemudian dia berdeham pelan. Setan.

Kami sampai di Jogja, kota yang sudah menjadi bagian dariku rasanya. Aku sedang bangga, wanita itu menggandeng tanganku dengan bahagia. Sesaat, dunia ini terasa milik berdua, yang lain seolah seperti pelengkap saja. Aku dan Dia berjalan menjamahi malioboro diiringi canda dan tawa. Aku seperti raja di Jogja, dengan permaisuri cantik disampingnya. Dia yang kini menempel erat padaku, melihat sebuah celana yang bagus baginya. Kataku ambil saja. Senang rasanya melihat senyumnya terkembang mempesona. Empat meter berikutnya, ada lagi sebuah celana yang membuatnya terpana. Ambil saja. Damai rasanya melihat kerlingan matanya yang elok memandangiku wajahku, suka. Enam meter beranjak, lagi sebuah celana menggodanya, membuatku merogoh dompet ketiga kalinya. Tenang hatiku mencium wangi tubuhnya yang memelukku manja, tapi sepertinya ada yang aneh dengan semuanya. Pantatku terasa ringan entah kenapa. Saat hendak melanjutkan perjalanan, aku menyuruhnya untuk pergi duluan saja bersama rombongan lainnya. Ketika wanita itu lumayan jauh dari pandangan mata, kuambil dompet untuk kuperiksa. Astaga, habisnya ternyata banyak juga.
tak apalah, bukannya butuh banyak pengorbanan untuk sebuah cinta.
cinta?

Sepotong Lilin Kecil dan Secawan Air Tawar

aku bukan mentari
yang abadi menyinari bumi hingga akhir jaman
juga bukan purnama
menelusup kelam dengan jari-jari indah sinarnya


aku hanya sepotong lilin kecil
yang bersedia menyinari malammu hingga mati


aku bukan bintang
yang menghiasi langit agung dalam kegelapan
juga bukan cakrawala
yang memangkunya dengan nyaman


aku hanya secawan air tawar
yang menampung indahmu hingga keruh

Teman Pagi

hey pagi, apa kabarmu hari ini
kali ini aku akan menemanimu lagi
maaf kalau aku hanya diam
karena tak ada kisah yang kugenggam


percuma kegelapan menyodorkan pena keheningan
tak ada cerita yang akan kutuliskan
serdadu jangkrik berhentilah mengerik
saat ini tak ada jatah lagu klasik


hingga kurasakan lelah detik
hingga airmata ini menitik


baru aku bicara pada pagi,
baru aku menulis dengan keheningan,
baru aku memutarkan lagu klasik untuk jangkrik.

Sebuah Buku dan Sebungkus Martabak: Kisah Klasik tentang Cinta dan Persahabatan

Sebuah Buku dan Sebungkus Martabak: Kisah Klasik tentang Cinta dan Persahabatan: "Sahabatku, dengar pengakuanku. Kuharap kau dapat menyimpan kisah ini sebagai pelajaran bagimu. Kisah ini mungkin sama dengan kisah cinta ya..."

Minggu, 03 Juli 2011

Kisah Klasik tentang Cinta dan Persahabatan

Sahabatku, dengar pengakuanku. Kuharap kau dapat menyimpan kisah ini sebagai pelajaran bagimu.
Kisah ini mungkin sama dengan kisah cinta yang pernah ada.
Jika kisah ini pernah ada, kupastikan bukannya aku ingin mengulang kisah itu.

Pertama kali cinta datang padaku, saat aku berumur lima belas. Aku tersenyum sembari memegangi sebuah gelas. Saat itu bagiku, gelas yang kubeli bukan hanya sebuah gelas. Gelas itu adalah tanda kedewasaan yang meretas. Gelas itu simbol masa pubertas yang trengginas. Gelas itu adalah perwujudan cinta pertama yang sedang memberontak keluar dengan ganas. keringat dingin disekujur tubuhku mengalir deras. apakah aku, apakah kalian yang berumur lima belas bisa mengutarakan cinta dengan bebas? jika ada maka ke dalam jurang curam aku berani terjun bebas. akhirnya aku mengambil secarik kertas, sementara tangan yang memegang pena mengekspresikan perasaan dengan lepas.

Rasanya tak perlu aku menuliskan kembali kata-kataku saat itu. Aku malu. Yang penting kalian tau, bahwa aku telah berhasil membuat sebuah surat berisi semua isi hatiku, kepada wanitaku. Gelas itu telah terbungkus rapi dalam sebuah kado berwarna ungu ditanganku. tahukah kalian perasaanku saat itu? ya, perasaanku sama dengan kalian saat hendak mencoba menaklukkan cinta pertama itu. langkah ini bergetar hebat, namun tekadku sudah bulat menuju rumah itu. rumah tempat tinggal wanita pertama di hatiku. Tanganku, memegangi surat yang kubuat itu, dengan lemas, dengan degupan jantung yang bergemuruh tak menentu. tak sanggup rasanya memutar gagang pintu. Aku malu.

Sesaat sebelum aku berjuang, seorang teman lelaki datang, dengan senyum yang terkembang. Dia bertanya padaku apa yang sedang kupegang. Aku malu untuk bilang, tak akan pernah kubilang pada temanku itu, yang senyumnya terkembang. Katanya, pasti untuk wanita itu kado yang kupegang. Senyumku terkembang. Aku bohong bilang, bukan bang. Pandangannya padaku seperti menantang, Dia seolah menabuhkan genderang perang saat bilang bahwa wanitaku itu dulu adalah orang yang dia sayang. Dan lelaki dengan senyum terkembang itu temanku, dia masih berharap wanitaku masih menyimpan cintanya yang selalu terkembang. Aku gamang.

Kertas itu, yang berisi curahan hatiku, tercabik lesu. Dia merintih letih dari dalam kotak sampah. Kubilang padanya sudahlah, bukan saatnya menjadikan bulan juni ini sebagai bulan yang indah. dengan lesu tanganku mengetuk pintu. pintu itu terbuka, dan dia ada dihadapanku. aku terenyuh, kelakianku tersentuh. Wanita itu cantik sekali, sungguh. "Selamat Ulang Tahun, ini kado untukmu." Kataku padanya dengan pilu. Wanita itu tersenyum padaku, berterimakasih dan mempersilahkanku untuk duduk dulu. "Aku sedang buru-buru. Kesini hanya untuk menyampaikan kado itu. Semoga kau bahagia selalu." Kataku padanya dengan pilu. Pantatku bersikeras untuk duduk dulu, aku tak mau.

detik demi detik berlalu. menit demi menit terukir. jam demi jam berdentang. hari demi hari terlewati. bulan demi bulan berdatangan. Cinta pertama yang sempat terlupakan kembali hadir, saat hati sudah bermain kesana-kemari. Mungkin saat ini yang terbaik, menguji keberhasilan cinta pertama ini. Aku lebih memilih senang saat ku tau temanku tak sanggup melanjutkan kisahnya dengan wanitaku. Aku lebih percaya diri sekarang dari pada dulu. Langkah ini sudah mantap, sebelum akhirnya seorang temanku datang berharap. Katanya dia terpikat, pada wanitaku yang cantik berjilbab. Sekali lagi dalam hati, berkecamuk perang antara cinta dan persahabatan. Sekali lagi dalam hati, cinta terengah pasrah pada amukan ganas persahabatan. Sekali lagi dalam hati, beristirahat dengan tenang cinta ini. Dan ternyata, aku yang berlabel pejuang cinta sahabat ini, tidak disukai oleh wanitaku ini. Ya sudahlah, terlanjur begini.

Saat masa sekolah hampir berakhir, saat kesempatan datang agar cinta ini dapat terukir, seperti biasa seorang teman membuat cinta ini terusir. Tapi kali ini, aku tak ingin cinta ini berakhir. Sekali ini saja aku ingin kikir. Bisakah sekali ini saja aku kikir?!?!
Tuhan, cinta ini benar-benar berakhir.

Saat sendiri aku sering bertanya pada hati. Sebenarnya sedekat apa aku dengannya? hingga berani mencintai. Yang kuingat dan selalu kuingat hanyalah, aku sering kerumahnya, dengan ritual memutari jalan depan rumahnya dulu berkali-kali, lalu menepuk dada dan memejamkan mata untuk belok masuk ke halaman rumahnya. Alasanku sederhana, hanya ingin meminjam sebuah buku atau meminjami sebuah buku. Hanya itu ceritaku. Kau boleh tanya pada sebungkus martabak yang selalu kubawa untuknya jika tak percaya padaku.
Hanya itu ceritaku,
Sebuah Buku dan Sebungkus Martabak.
Cerita yang membuatku, sampai saat ini tak pernah mengungkapkan isi hatiku.

Kau penasaran dengan wanita itu?
wanita itu sahabatku, juga sahabatmu.
akhirnya kau tau.

berjanjilah, kau bawa cerita ini sampai nisanmu.
kawan?

Yah, aku bukan kawan yang baik...