Berulang kali Simple Plan meneriakkan lagu Jet Lag di telinganya. Lelaki kurus itu memang sedang menggandrungi lagu yang dinyanyikan Simple Plan yang berduet dengan Kotak. Sepasang mata elangnya terpejam, alisnya yang tajam mengernyit sementara mulutnya komat-kamit menikmati lagu. Cuma kata I Miss You So Bad yang dia hapal dari lagu itu. Sesuai dengan kondisi hatinya saat ini, yang sedang merindu setengah mati pada mantan pacarnya. Angannya mulai bercerita.
Namanya Maya, kebetulan Maya adalah adik kandung Anton yang merupakan teman Gibran satu tongkrongan. Ceritanya dengan Maya tergolong unik dan mengharukan. Mereka berdua pertama kali bertemu di Pantai Kubu, objek wisata paling ramai di Pangkalan Bun. Ramai karena hanya Pantai Kubu satu-satunya pantai yang tidak terlalu susah untuk dijangkau. Kata Pantai juga kurang tepat menggambarkannya, karena Kubu sebenarnya adalah teluk dekat dengan pelabuhan Kumai. Butuh setengah jam perjalanan untuk sampai kesana. Mungkin sugesti yang memunculkan kata pantai itu adalah karena di Kubu banyak pohon kelapa. Saat itu, Gibran bersama teman-teman yang lain sedang bersenda gurau menikmati suasana. Mereka meniti jembatan yang menjorok ke tengah laut, menuju pondok yang berada di ujungnya. Lalu Gibran yang sedang asyik mengupil dikejutkan oleh suara riang yang muncul dari belakangnya. Ia menoleh ke belakang, dan seketika melototlah matanya melihat wanita cantik yang sedang tersenyum riang sambil menggandeng tangan seorang wanita lagi yang tak dikenalnya. Posenya mengupil masih tetap dipertahankan, membuat mereka cekikian. Dian, pacar Anton, menyambut kedua wanita itu dengan gembira. “Mirip sama Anton ya?” Celetuk Gibran sambil melangkah. “Adiknya, Bran...” Jawab Dian membuatnya mafhum, sementara Maya hanya tersenyum jumawa, lalu kembali berceloteh riang bersama temannya. Anton mendelik, merasa ada gelagat tidak beres dari kawannya itu. Sepanjang jalan Gibran asik curi-curi pandang sambil waspada, kalau-kalau dipergoki Anton. Wajah Maya begitu sempurna dimatanya, tipe wanita idaman yang selama ini cuma nongkrong dalam mimpi. Berjilbab, sepasang mata bulat dan senyum manis semanis senyum Dian Sastro. Tubuhnya semampai, keceriaan selalu terpancar dari wajahnya, membuat Gibran jatuh hati seketika itu juga. Gibran sangat percaya dengan sebuah pepatah lama, yang bilang cinta kebanyakan datang dari pandangan pertama. Dan Thoha berjingkrak kesana kemari, mengabadikan setiap detik momen dengan kamera si Wahyu.
Keesokan harinya Gibran membuka facebook dengan semangat empat-lima, mencari-cari Akun Maya. Tak lama mereka akhirnya berkenalan lewat facebook. Dimulai dari kebiasaan Gibran mengedit foto-foto Maya, memperindah yang sudah indah, mereka berdua semakin akrab setiap harinya. Dari mulai berbasa yang benar-benar basi, sampai aktif menyetorkan perhatian pada setiap jengkal keadaan Maya, hingga meminta secara sepihak nomor Maya dari Fredi, yang harus disuap dengan makan gratis satu hari. Gibran sangat yakin, benar-benar yakin kalau Maya tercipta untuknya. Suatu Ketika, Maya mengeluh kalau dirinya selalu diganggu oleh para lelaki yang naksir berat padanya di kampus. Bahkan, sampai ada yang membuntutinya hingga ke kos-an. Tentu saja Gibran bergidik, karena seperti itulah dirinya kalau memang se-kota dengan Maya. “Kenapa tidak pasang status palsu saja.” Usul Gibran sambil menyertakan smiley diujung sms-nya. “Bagus juga idenya Mas. Nanti kubuat status berpacaran dengan Ani.” Balas Maya. Gibran nyengir, membayangkan wajah Maya yang tertawa manja itu. “Kalau sama cewek, manalah orang percaya...” Smsnya lagi, seringainya mengembang menyembunyikan suatu rencana. “Terus sama siapa...” Keluh Maya. Gibran membayangkan kalau Maya saat ini terlihat resah sambil memberengut menopang dagunya. “Sama Mas saja.” Jawabnya. Awalnya Maya seperti tak percaya dengan usul yang diajukan Gibran tadi, tapi Gibran berhasil meyakinkannya –entah bagaimana caranya, untuk segera melaksanakan rencana pembuatan status palsu di jejaring sosial itu. Status pun dibuat, dan tanggapan khalayak ramai bermacam-macam. Maya mengakui kalau teman-teman satu jurusannya geger mengetahui Dia akhirnya berpacaran. Sementara Thoha yakin kalau Maya perlu periksa ke dokter mata. Dan -entah bagaimana caranya, status palsu itu menjadi kenyataan. Berawal dari suatu sore, dedaunan menitikkan tetes-tetes air hujan yang mendendangkan lagu selamat jalan pada gerimis yang menghilang. Berawal dari celetukan Thoha yang berkata, “Kenapa tidak pacaran sungguhan saja sekalian? Dia mau buat status palsu dengan kamu juga pasti karena suka kan?” Pernyataan yang membuat Gibran memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya selama satu bulan belakangan –lewat sms. “Telepon dong?” Protes Thoha. “Pulsaku tak cukup.” Jawab Gibran singkat. Sore itu tanggal 26 November, sebuah tanggal yang harus dilingkarinya dengan spidol merah besar-besar lalu diberi gambar hati disana-sini. Gibran, lelaki jomblo hampir dua tahun itu kini memiliki pacar juga, setelah berkali-kali cintanya kandas, bahkan sebelum pedekate dimulai. Alasan para wanita sebelum Maya menolaknya pun bermacam-macam: ada yang belum bisa melupakan mantannya; ada yang pura-pura tak mendengar; ada yang agamanya taat dan anti-pacaran; ada yang tersenyum sambil berkata lembut, “Aku baru jadian dua hari Gibran, sama pacarku.”
Namanya orang jatuh cinta, di dunia ini Gibran merasa cuma Dia dan Maya saja pemiliknya dan sisa makhluk yang lain cuma menumpang. Sebuah kata pun tidak lagi hanya sebuah kata. Baginya, senja itu bukan senja. Senja itu semburat kejinggaan yang dilemparkan matahari disela-sela awan kelabu. Bintang bukanlah bintang. Bintang adalah para wali dari cintanya, yang menyampaikan salam rindu pada sang pujaan. Malam itu bukan cuma gelap. Malam itu juga kesunyian yang mendidihkan asa untuk bertemu sang cinta nun jauh diseberang pulau sana. bahkan jangkrik yang mengerik baginya seperti kode morse, yang diartikan dikirimkan salam serta rasa rindu dari Maya juwita hatimu. Cinta Gibran pada Maya menggeliat mesra di dunia maya.
Dan cukup dua minggu euforia penuh kata-kata pujangga itu selalu terlontar di status facebooknya. Secara sepihak, Maya memutuskan hubungannya dengan alasan tak direstui orang tuanya. Seperti tersambar petir disiang bolong, tubuh Gibran bergetar hebat mendengar kata putus dari sang pujaan. Dia merengek seperti anak kecil, berusaha memaksakan sugesti kalau Maya sedang bercanda. Sayang, Maya tidak bercanda. Tidak puas dengan sikap apatis Maya yang bersikukuh dengan keputusannya, Gibran melampiaskan segala kekecewaannya lewat facebook. Kegalauan demi kegalauan diumbarnya. Maya yang merasa tokohnya di-antagonis-kan tidak terima. Dia akhirnya menawarkan opsi yang patut dipertimbangan, menjadi teman dengan embel-embel “sesuatu” dibelakangnya. Intinya, pintu hati Maya yang tadi tertutup dibuka sedikit hingga Gibran boleh sesukanya mengintip. Sebulan pertama lancar-lancar saja. Sebulan kemudian keadaan tambah runyam. Gibran punya hobi baru, marah-marah tak jelas, cemburu yang tak dibuang pada tempatnya. Maya memutuskan bahwa Gibran sudah masuk kategori terobsesi padanya. Level Gibran dihatinya pun diturunkan menjadi teman biasa. Gibran tidak terima, dan Maya kembali menjadi tokoh antagonis dalam cerita cintanya di jejaring sosial. Sikap Gibran membuat Maya malah semakin benci padanya. Status Gibran semakin terjun bebas ke level dicuekin. Klimaksnya, Gibran resmi ditendang dari pertemanan Maya di jejaring sosial maupun di kehidupan sosialnya. Sms-nya tak pernah dibalas. Teleponnya tak pernah diangkat. Bagi Gibran, bencana ini lebih hebat dari gempa di jogja. Setengah mati Gibran mencoba membuat Maya memaafkannya.
Sebulan kemudian, mungkin karena rasa kasihan pada Gibran, Maya pun membalas smsnya. Hal ini membuat hati Gibran menjadi senang tiada tara. Maya setuju dengan proposal persahabatan yang ditawarkan mantan pacarnya itu, dengan beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku. Dan tak ada tawar-menawar lagi, tak boleh ada kata cinta lagi yang terucap dari mulut Gibran. Gibran menyetujui. Hubungan mereka akhirnya baik-baik saja. Di suatu malam yang tak berbintang, secara tak sengaja Gibran berbalas pesan di jejaring sosial dengan salah satu teman dekat Maya. Seolah dilemparkan dari pesawat ulang-alik ke bumi, terjun bebas terbakar atmosfer, terhempas keras di ladang kaktus, kehausan di tengah padang pasir lalu dimakan cacing tanah raksasa; Gibran malu setengah mati saat teman Maya mengakui kalau dia tak tahu menahu kalau Maya pernah punya pacar bernama Gibran. Baru kemarin sahabat Maya itu berbincang dengannya lewat telepon, dan Maya yang kebetulan juga ditanya olehnya apakah benar pernah punya pacar setelah Faje, menjawab tidak.
Kedewasaan itu seperti hidayah, datang ketika Alloh SWT menghendakinya. Gibran beruntung, malam itu kedewasaan mampir dan membuatnya malu akan sikapnya selama ini. Dan entah, apakah itu kedewasaan atau kebodohan yang baru disadarinya. Gaya gravitasi bumi seolah berlipat-lipat kini, kakinya melangkah terseret, terseok-seok seperti Bajaj butut dengan ban kempes serta kehabisan bensin. Dengan sisa tenaga yang dimiliknya, Ia menelepon pujaan hatinya.
“Sedang apa..” Tanyanya datar.
“Belajar.” Jawab Maya tak kalah datar.
“Tadi habis berbincang sama Tia.” Kata Gibran langsung, berharap Maya kaget.
“Oh.” Ketus ucap Maya, tak sesuai harapan.
“Lewat pesan di facebook.” Jelas Bayu.
“Mmm..” Maya tak tertarik.
“Jujur May, Status palsu itu tetap palsu bagimu kan? Tak pernah berubah menjadi kenyataan, seperti yang kurasakan. Setidaknya dalam seminggu itu.” Tembak Bayu langsung.
Maya terdiam, Gibran setia menanti suaranya terdengar dari hape. Tak lama Maya buka suara, mulai bercerita. Awalnya dia bercerita tentang perjuangannya melupakan Faje selama setahun lebih. Lalu Ia bercerita seorang lelaki bernama Gibran. Lelaki itu datang tepat saat Faje mulai hadir kembali di hati Maya. Maya bermaksud mencari tahu, apakah Faje juga masih mengingatnya seperti dia masih mengingatnya lekat dalam kenangan. Status palsu pertama memang direncanakan Maya untuk membuat Faje cemburu. Menerima Gibran adalah upaya Maya untuk bisa melupakan Faje, setelah tahu Faje masih memiliki rasa padanya. Saat di bangku SMA, Maya dan Faje putus juga karena larangan orang tuanya. Bedanya, Maya mencintai Faje, sedang Gibran tidak. Maya menegaskan kalau dia tidak ingin membuat Gibran berharap lebih jauh padanya yang tidak cinta. Gibran menerima saja alasan Maya, entah mengapa. Namun malam itu, harga dirinya sebagai lelaki semakin meraung. Untuk pertama kali, Ia tak ingin berlama-lama mendengar suara Maya.
Hampir setahun, Gibran mengenal seorang wanita mempesona bernama Maya. Dalam setahun itu, banyak cerita yang tertulis dalam perjalanan cintanya. Bahkan ceritanya, bisa dideretkan dengan lagu. Jika bisa diparodikan, di dalam hati Gibran kini sedang dipentaskan sebuah drama cinta.
Keluar seorang lelaki kurapan dari panggung, berlutut dihadapan wanita berjilbab anggun. Lelaki itu mulai menyanyikan lagu Armada:
Kau terindah, kan slalu terindah
Aku bisa apa tuk memilikimu
Kau terindah, kan slalu terindah
Harus bagaimana ku mengungkapkannya
Kau, Pemilik Hatiku
Wanita itu tersenyum lalu meraih tangan si lelaki kurapan. Lelaki itu girang lalu mulai bernyanyi lagu Yovie dan Nuno:
Aku memang tak setampan Romeo
Aku juga tak bergelimang harta
Namun tak kusangka, dapatkan dirimu
Yang lebih indah dari seorang Juliet
Lelaki dan wanita itu kemudian berduet menyanyikan lagu Ungu:
Aku ingin engkau slalu
Hadir dan temani aku
Disetiap langkah yang menemaniku
Kau tercipta untukku
Meski waktu akan mampu
Merenggut seluruh ragaku
Kuingin kau tau kau slalu milikku
Yang mencintaimu sepanjang hidupku
Dan tiba-tiba, si wanita cemberut lalu melepaskan genggaman tangan lelaki kurapan. Akting aktor wanitanya sungguh meyakinkan. Ekspresi wajahnya drastis berubah dari berseri-seri menjadi dingin tak berperasaan. Lelaki kurapan bengong, wanita anggun itu mendadak centil dan mulai menyanyikan lagu Vidi Alviano dengan riang ceria:
Terpaksa aku mencintai dirimu
Hanya untuk status palsu
Setengah hati kujalani cinta
Karena ku tak suka denganmu
Sang wanita menghilang dari panggung. Lelaki itu terjerembab dengan wajah melas se-melas-melasnya dan mulai mendendangkan lagu Meggy Z :
Lebih baik kau bunuh aku dengan pedangmu
Daripada aku mati bunuh diri
Lebih baik aku mati ditanganmu
Daripada aku mati karena cintamu
Dibalik kekecewaannya, Gibran bersyukur telah dipermainkan seperti itu. Ia merasa dirangkul Tuhan, sengaja tak dibiarkan bertahun-tahun kasmaran. Cukup dua minggu. Dia membayangkan, separah apakah keadaan dirinya jika bertahun-tahun kemudian baru tahu kalau sedang dijadikan tumbal perkara cinta. Dulu, dia adalah seorang manusia yang selalu menganggap dunia ini panggungnya semata. Ia merasa dirinyalah sang tokoh utama. Sudut pandangnya sempit, terbatas dari cara dia memandang, tak peduli pandangan orang. Hal ini membuatnya kembali berkenalan dengan sebuah buku berjudul Al-Qur'an. Gibran juga mulai sering berjamaah di masjid. Pantatnya yang biasa leyeh-leyeh di tongkrongan secara ajaib bisa beradaptasi dengan karpet pengajian.
Jarum jam bertumpuk di angka dua. Sampai parau suara Simple Plan dan Kotak dipaksa menyanyikan lagu jet lag berulang-ulang. Bayu sudah memegang Blackberry di tangannya. Dia sudah memilih nomor Maya dan tombol telepon berwarna hijau sudah siap ditekannya. Lalu dia termangu, sorot matanya terus melihat nama kontak itu. Bayu kemudian memejamkan mata, tak lama bibirnya menyunggingkan senyuman. Jempol jarinya tetap siaga menekan tombol telepon berwarna hijau. Sampai akhirnya kapal tiba, menjemputnya untuk berlayar ke pulau kapuk. 31 Januari, satu bulan lebih lima hari dari tanggal pesan itu dikirimkannya. Bayu masih tetap pada pendiriannya, meludah saja.
Cinta itu bukan masalah memiliki atau tidak. Cinta juga bukan masalah jauh atau dekat. Cinta bukan masalah maya atau nyata. Cinta juga bukan masalah umur. Cinta bukan masalah restu. Cinta juga bukan masalah hitam atau putih. Cinta itu masalah hati.